BAHASA BUGIS - INDONESIA
Alhamdulillah, Tanggal 6 April 2011, bertepatan hari jadi BONE...
telah diluncurkan KAMUS LENGKAP BAHASA BUGIS - INDONESIA yang disusun oleh Drs. Asmat Riady Lamallongeng, Pengantar H.AJIEP PADINDANG, SE, MM.
editor : Darmawati, S.Pd.- Rima Gustini, S.Pd.
cetakan I April 2011, lay out Goenawan Monoharto & Anna Asmawaty, SP.
penerbit de la macca bekerja sama dengan Latenri Tappu Institute (LTI)
" ajak mumatebbek ada - apak iyatu adae' mae'ga bettuwanna "
(janganlah banyak bicara, sebab bicara itu banyak artinya)
"alitutuiwi lilamu - apak iyatu lilae' pawere'-were'"
(jagalah lidahmu, sebab lidah itu bisa mengiris)
(Halaman 1 dalam kumpulan Puisi "KUGELUTI DALAM MIMPI)
MULANYA AKU HIDUP DALAM ARTI YANG TIADA BERARTI
BEGITU CINTA PADA DIRI, MESKI DUNIA LARI DAN BERLARI
SAMAPAI TERASA KEASINGAN BENTUK DARI SEGALA WARNA
KARENA INI DARAH MENGALIR TAK BAERNAMA
MULANYA AKU HIDUP DALAM ARTI DILAIN ARTI
KUBULATKAN INI KATA HATI
BUAT PERTANDA AKU BUKAN MEMBENCI
BIAR KABUT PAGI PADA TERSIMBAH BERLARI
MENGHALAU KEGELAPAN HIDUP DAN ARTI HIDUP
MULANYA AKU HIDUP DALAM ARTI SEKECIL ARTI
DAN INI RISALAH HANYA TERSIMPAN DILUBUK HATI
SEKEJAP DIA MENGHILANG BERSAMA TEJA MERAH-MERAH KUNING
Watampone, 15 Maret 1965
BENARKAH MANURUNGE RI MATAJANG RAJA BONE – I BERNAMA LA UBBI ?
Posted by Lamallongeng Label: sejarahManurungE ri Matajang Raja Bone- I yang digelar Mata Silompo’E (mata seluas lapangan) karena memiliki kemampuan untuk menebak jumlah orang yang sedang berkumpul disuatu lapangan (Bugis ; lompo’) tanpa harus menghitungnya lebih dahulu. Selama ini Raja Bone – I yang diperkirakan memerintah dari tahun 1326 – 1358 itu, tidak diketahui tentang siapa namanya dan dari mana asal usulnya, termasuk siapa nama ayah dan ibunya. Para penulis lontara’ (catatan yang tertulis diatas daun lontar) melukiskan secara ragu-ragu, begini ; “Nariaseng gare’ manurung nasaba tenrisseng apolengenna – tenrissetto inanna amanna” (Konon dikatakan manurung sebab tidak diketahui asal usulnya dan tidak diketahui ayah dan ibunya).
Sesuai dengan stadia berpikir dan sistem kepercayaan saat itu, memang bisa saja menimbulkan pemahaman dalam masyarakat bahwa “to manurung” (orang yang turun dari langit) atau “to tompo” (orang yang muncul dari bawah) adalah titisan dewata yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang biasa. Pemahaman seperti itu menjadi legitimasi bagi sosok “to manurung” atau “to tompo” untuk mendapat perlakuan yang istimewa. Dihormati dengan pengakuan; “angikko kiraukkaju – riyako miring riyakkeng mutappalireng” (anginlah engkau dan kami semua daun kayu, kemana engkau berhembus kesana pula kami terbawa), hingga akhirnya diangkat menjadi pemimpin (raja). Pada saat itu, membicarakan sosok “to manurung” atau “to tompo’” merupakan hal yang dianggap sangat tabu dan sakral. Seperti dapat kita lihat pada rata-rata pembukaan “lontara” yang selalu diawali dengan kata-kata ; “Aja’ kumabusung – aja’ kumatula – aja’ kukapapa – rampe-rampe aseng to senrima” (Janganlah aku tercelah – janganlah aku terkutuk – janganlah aku terhina – menyebut nama orang yang mulia ).
Pemahaman seperti itu, sepertinya membatasi cara berpikir sebahagian besar orang Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat selama berabad-abad. Para peneliti sejarah kelihatannya ikut hanyut dengan pemahaman yang keluar dari sebuah wilayah yang bernama logika dan tidak memiliki kemampuan untuk menggeliat lepas dari kisah-kisah “to manurung” atau “to tompo’” yang penuh dengan mitos dan legenda.
Padahal kehadiran “to manurung” dan “to tompo” baik pada masa Galigo maupun pada masa lontara’, adalah matarantai lahirnya pemimpin-pemimpin yang kharismatik dan berwibawa serta terciptanya sistem pemerintahan yang demokratis di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat sejak awal abad – XIV hingga masa kemerdekaan. Pengakuan tentang “to manurung” atau “to tompo’” menurut hemat penulis, bukan saja harus dalam bentuk keyakinan bahwa sosok tersebut adalah titisan dewata yang turun dari langit atau muncul dari bawah (uri’ liung). Tetapi dengan mengakui kehebatan, kecerdasan dan keberaniannya yang melebihi manusia lain, sudah menggambarkan betapa tinggi penghormatan yang diberikan kepadanya.
Bertolak dari sebuah logika bahwa tidak akan pernah ada manusia yang mendapat justifikasi keistimewaan turun dari langit atau muncul dari bawah, penulis mencoba membangun analogi tentang siapa sesungguhnya ManurungE ri Matajang Mata Silompo’E yang diangkat oleh orang Bone sebagai Mangkau – I. Dalam hubungan ini, adalah menarik untuk ditelusuri pendapat Prof. Mr.DR. Andi Zainal Abidin dalam bukunya; “Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan” yang mengatakan bahwa besar sekali kemungkinan seluruh raja-raja di Tana Bugis adalah seketurunan dengan raja-raja Kedatuan Cina, oleh karena adanya kesamaan konsep kekuasaan, mitos politik To Manurung, sistem, struktur pemerintahan dan hukumnya. (Andi Zainal Abidin, 1999; 69).
Dibahagian lain tulisan Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa Bone, Soppeng, Sidenreng, Suppa, Sawitto, muncul pada awal abad –XIV yakni kurang lebih 400 tahun sesudah kedatuan Tana Ugi yang bernama Cina terbentuk (Andi Zainal Abidin, 1999;68).
Jadi mengacu kepada perkiraan itu, maka Kedatuan Cina (Cina Riaja di Pammana Wajo dan Cina Rilau di Bone) yang raja pertamanya adalah La Sattumpugi dapat dikatakan terbentuk apad abad – IX. Perkiraan ini diperkuat oleh sejumlah lontara’ yang menyebutkan bahwa sebelum kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan (Bone, Soppeng, Sidenreng, Wajo dan lain-lain) terbentuk, hanya dikenal beberapa kerajaan seperti seperti ; Tompo Tikka, Luwu, Cina, Wewang Riwu, Gowa, dan Siang. Untuk wilayah-wilayah yang kemudian masuk dalam Kerajaan Bone, seperti ; Lamuru, Lamoncong, Palakka, Babauwae yang wilayahnya membentang sepanjang bantaran sungai Cenrana sampai Bola (Wajo sekarang), Lapakkang Riawang yang kemudian menjadi Awangpone, Mampu dan Wawo Lonrong, merupakan kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat.
Menurut Andi Zainal Abidin, suatu ketika mungkin diorganisir oleh satu rezim yang didorong motivasi tertentu, sehingga kerajaan dibagi-bagi dan disebarkan keberapa tempat, sehingga lahirlah beberapa kerajaan baru yang bersumber dari Kerajaan Cina. Mengkaji rumus perjanjian antara To Manurung dengan rakyat yang bersedia menerimanya sebagai datu atau raja pada semua kerajaan yang baru muncul (dalam abad –XIV itu), mirip sama atau berpola dari To Manurung pertama di Cina.
Berdasarkan keterangan-keterangan Andi Zainal Abidin diatas, membuat penulis semakin yakin dan termotivasi untuk melakukan penelusuran berbagai sumber informasi baik lontara’ maupun cerita rakyat yang ada hubungannya dengan kisah munculnya ManurungE ri Matajang Mata Silompo’E Raja Bone – I yang memerintah dari tahun 1326 – 1358 itu. Sejumlah sumber informasi berupa lontara’ yang ditelusuri oleh penulis, salah satu diantaranya yaitu ; “Lontara Akkarungeng” yang memuat tentang kisah kehadiran To Manurung di Ajattappareng, Sawitto, Bone, Lompo’ dan Sekkanyili (Soppeng), menyebutkan bahwa Arumpone – I itu bernama La Ubbi.
Dibawah ini penulis tampilkan cuplikan dari Lontara’ Akkarungeng tersebut ;
“Setelah Pua’juru (orang pintar) melakukan berbagai ritual, para bissu – maddanging ranging – (memohon kepada Dewatae), tiba-tiba terjadi guntur dan kilat disertai angin kencang, selama kurang lebih tujuh hari tujuh malam gelap gulita. Pada saat itu dimunculkanlah Arumpone yang bernama La Ubbi. Diikuti seorang laki-laki pembawa payung emas dan seorang lagi pembawa salenrang (puan). Muncul pula CilaongngE di Matajang dengan busana serba putih, sedangkan La Ubbi beserta pengikutnya berbusana serba kuning. Dalam berbagai sumber menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan CilaongngE adalah Matowa Ciung (Bukaka) yang dalam lontara’ Sinjai dikatakan bahwa anak Matowa Ciung kawin dengan La Ummasa Petta Panre BessiE Raja Bone –II yang memerintah dari tahun 1358 - 1424.
Pada mulanya orang banyak hanya melihat orang yang berbusana serba putih, mereka tidak melihat orang yang berbusana serba kuning. Lalu orang banyak mendatangi orang berbusana serba putih, karena disangkanya “to manurung”. Tetapi orang yang berbusana serba putih tersebut, berkata ; “Saya bukan arung (raja), tetapi kalau kalian benar-benar mau mengangkat arung (raja), ada arung (raja) saya ManurungE ri Latoro. Saya bisa menemani kalian kesana” Orang banyak setuju untuk ditemani, lalu mereka berangkat ke Latoro ditemani oleh CilaongngE ManurungE ri Matajang yang berbusana serba putih.
Sesampainya di Latoro, ditemukanlah ManurungE (La Ubbi) sementara duduk ditempat duduknya. Bertanyalah ManurungE (La Ubbi) kepada CilaongngE ; “Ada apa Cilaong ?” Lalu CilaongngE menjawab ; “Saya menemani hambamu, orang Bone”. Lalu duduklah orang banyak menyembah kepada ManurungE (La Ubbi) yang berbusana serba kuning. Bertanyalah ManurungE (La Ubbi) kepada orang banyak ; “Apa maksud kalian sehingga datang ke tempat ini ?” Orang banyak menjawab ; “Rara’ palekku Lapuang – awang lasuna pangemmerekku – masenne’ baba – mawampang lila – tekkumatula baliyo ada – apa utanri aju sengkona siasemmue” (Gemetar tanganku, Puang – tipis sekali nyaliku – tercabik mulutku – kaku lidahku – semoga kami tidak terkutuk menjawab pertanyaanmu – sebab kami telah melupakan yang menyamaimu).
“Kami semua ini adalah hambamu, orang Bone. Rajalah engkau dan kami semua adalah hambamu. Kami ingin diselimuti agar tidak kedinginan, dijaga agar tidak bercerai – berai, dinaungi agar tidak kepanasan, anginlah engkau dan kami semua daun kayu, kemana engkau bertiup kesana pula kami terbawa, kehendakmu dituruti, kata-katamu dibenarkan, walau anak isteri kami engkau mencelahnya kamipun mencelahnya, walau putih dan engkau mengatakan hitam, kamipun mengakuinya”
ManurungE menjawab ;
“Wahai orang Bone, kalau engkau tidak menipuku, akupun tidak akan menipumu, engkau tidak mencampakkan diriku, akupun tidak akan mencampakkanmu, engkau tidak mengingkari janji, akupun tidak akan mengingkari janji. Wariskan kepada anak cucumu dan akan kuwariskan kepada keturunanku. Barang siapa yang mengingkari janji, dialah yang termakan sumpah, tidak akan mendapat kebaikan keturunannya”.
Sepakatlah orang banyak dengan ManurungE (La Ubbi) untuk tetap berpegang pada janji yang telah diucapkannya. Suatu saat orang Bone bermaksud mencarikan ManurungE (La Ubbi) permaisuri sebagai pendamping. Tetapi ManurungE (La Ubbi) menolak dengan alasan bahwa ada sepupu satu kalinya yang ditunggu dari Baba UwaE. Maka setelah sepupu satu kalinya tersebut muncul dari Uri Liung di Baba UwaE, berangkatlah kesana untuk mengawininya. Dari perkawiannya itu, melahirkan empat anak, dua laki-laki dan dua perempuan, yaitu ; 1) La Wajo Langi, inilah yang menyeberang ke Butung, 2) La Raja Langi, inilah yang kawin di Cinnottabi dengan We Tenri Sui. Dari perkawinannya itu, melahirkan anak tiga ; - La Patiroi, - La Patongai, dan – La Pawawoi. Sedangkan anak perempuannya bernama ; 1) We Samakella – Arung Mampu, 2) We Pattanra Wanuwa – Arung Palakka.
Informasi lain (lontara akkarungeng Bone) menyebutkan ;
“Arung Tanete Riawang bernama La Tenri Tompo’ yang mula-mula mendirikan Bone, dua bersaudara, yaitu La Mata Silompo’ dialah yang muncul di Matajang. Mengacu kepada catatan ini, berarti Bone sudah terbentuk sebelum munculnya ManurungE ri Matajang. Tentang apa arti “bone” yang sampai hari ini masih sering menjadi perdebatan, memang masih perlu penelusuran yang lebih mendalam. Sebab dalam kamus bahasa Bugis, kata “bone” berarti tumpukan pasir.
La Tenri Tompo’ kawin dengan We Delu’ Lino di Cempalagi, melahirkan We Pattola (perempuan). We Pattola kawin dengan La Padawarani, melahirkan We Batara. Selanjutnya We Batara kawin di Balubu dengan La Palippui, melahirkan anak dua ;
1. We Mallagenni, 2. We Tenri Ola.
We Tenri Ola kawin di Baringeng, sedangkan We Mallagenni kawin di Wajo, melahirkan anak laki-laki dua ;
1. Puang Lungka (disebut Puang Lungka karena jari tengahnya panjang), inilah yang menjadi Datu di Cempalagi.
2. Puang Tappe (disebut Puang Tappe karena seluruh jari-jarinya sama panjang), inilah yang membuka Lonrong.
Berdasarkan catatan ini, maka timbul pertanyaan bahwa apakah La Mata Silompo itu juga yang bernama La Ubbi yang dalam berbagai lontara disebut sebagai Datu Baba UwaE ? Rupanya memang memerlukan penelitian yang lebih mendalam, sebab dalam lontara Wajo ditemukan bahwa La Ubbi yang kawin dengan anak ManurungE ri Baba Uwae yang bernama We Tenri Namoreng, adalah anak La Dewata I Tomangkau Raja Wewang Riwu dengan isterinya yang bernama Sompa Ritimo. Sedangkan La Dewata I Tomangkau adalah anak dari Tejjo Risompa Batara Wewang (pendiri Wewang Riwu) dengan isterinya PolawengE Tojampulaweng ri Tompo’tikka. Tejjo Risompa Batara Wewang bersaudara dengan We Datu Sengngeng, We Yaddi Luwu dan We Tenriabang. Ini berarti bahwa Tejjo Risompa adalah anak La Urumpessi dengan isterinya We Pada Uleng Passaikke BajabajaE. We Tenriabang adalah isteri La Sattumpugi Datu Cina pertama atau Datunna Tana Ugi.
Sementara dalam lontara’ yang membicarakan tentang ManurungE ri Mampu menyebutkan bahwa salah satu anak La Oddang Patara dengan isterinya We Lele Ellung yang tersisa dari malapetaka (lebbo’) Mampu yaitu La Ureng Riwu kawin di Awampone dengan saudara perempuan La Raja Langi yang bernama We Samakella. Dari perkawinannya itu, melahirkan ; 1. La Pariusi Arung Sijelling, 2. We Sengempulu Arung Mampu Riaja, 3. We Samaulu Arung Mampu Riawang dan We Temmarowe Arung Kung. Dalam catatan diatas disebutkan bahwa La Raja Langi, We Samakella, adalah anak La Ubbi.
Kalau informasi ini benar, maka jelas bahwa ayah La Ubbi yaitu La Dewata I Tomangkau sezaman dengan La Oddang Patara yaitu anak ManurungE ri Mampu. Adapun ManurungE ri Mampu yang bernama Guttu Tellemma kawin dengan We Sengngeng Talaga, melahirkan La Oddang Patara. Selanjutnya La Paturungi kawin dengan We Sinrang Langi, melahirkan We Lele Ellung. Kedua pasang To Manurung tersebut melakukan perkawinan silang, yaitu Guttu Tellemma bersaudara dengan We Sinrang Langi, sedangkan La Paturungi bersaudara dengan We Sengngeng Talaga.Dalam lontara’ Mampu disebutkan kedua pasang tersebut muncul dibukit yang bernama Lapakkang Riawang.
Kembali kepada Puang Tappe, yang mula-mula membuka Lonrong, kawin dengan Punna Liung dan melahirkan La Tenri Petta yang mula-mula membuka Ara. La Tenri Petta dikenal sebagai orang kaya, semua pakaiannya indah-indah dan memiliki lebih seratus orang pengambil airnya. La Tenri Petta memiliki empat orang anak ; - La Temmattola, - We Temmangengnge, - La Sabbamparu dan – La Wajo Langi. La Sabbamparu dijadikan sebagai anak angkat oleh Datu Luwu di Cenrana, tetapi karena disangka “malaweng” (melakukan hubungan asmara dengan saudara kandungnya yaitu We Temmangengnge), maka disuruh bunuh oleh Datu Luwu. La Sabbamparu inilah yang memiliki alameng Lateya Riduni. Dengan demikian berselisihlah Datu Ara (La Tenri Petta) dengan Datu Luwu di Cenrana.
La Temmattola kawin dengan We Lulumparu saudara perempuan La Kelasse. We Temmangengnge yang menginginkan menjadi Arung Baba Uwae, sehingga timbul perselisihan antara keluarganya. Karena terdesak,dia mengungsi ke Bone disebelah timur Laccokkong. Setelah cukup empat tahun ditempat itu, diusir lagi oleh orang Ara sehingga ia mengungsi ke Salomekko. Dua malam di Salomekko, berpisahlah dengan La Kelasse, We Temmangengnge ke Raja, sementara La Kelasse ke Lamatti.
La Kelasse dengan isterinya (tidak disebut namanya) melahirkan anak laki-laki dua yaitu ; 1) La Tenriaji, 2) La Tenri Wasung. La Tenri Wasung kawin di Caubalu dan menjadi Arung Caubalu (Cabalu). Sementara La Tenriaji kembali ke Baba UwaE. Karena orang Baba UwaE tidak mau diperintah oleh “cera”, maka anak La Tenriaji yang bernama La Lopu tidak diterima menjadi Arung Baba UwaE. Oleh karena itu, La Tenriaji kawin dengan We Tenri Lallo di Baba UwaE dan melahirkan anak tiga, dua laki-laki dan satu perempuan, yaitu ; 1) La Pattikkeng (La Pattingki), 2) La Pattelle, 3) We Pettalela.
La Pattikkeng (La Pattingki) yang dalam lontara’ Bone disebutkan sebagai Matowa Palakka, kawin di Matajang dengan We Pattanra Wanuwa anak ManurungE ri Matajang Mata SilompoE. Dari perkawinannya itu melahirkan anak empat, yaitu ; 1) La Saliyu Karampeluwa, 2) We Tenri Roro, 3. We Tenri Peppang, dan 4. We Tenri Lengoreng.
Catatan ini lagi-lagi memperlihatkan bahwa antara La Pattikkeng (La Pattingki) Matowa Palakka dengan We Pattanra Wanuwa yang kemudian melahirkan La Saliyu Karampeluwa Raja Bone – III (1424 – 1496), masih memiliki pertalian keluarga yang sangat dekat. Dari gambaran diatas, dapat diperkirakan bahwa La Pattikkeng (La Pattingki) adalah anak sepupu dua kali We Pattanra Wanuwa.
Wallahu a’lam – Salama’ temmareulle !!!
(walaupun itu hanya dalam hati).TOSIPAKARAJA, SIPAKATAU, SIPAKAINGE,
Karena hari ini, esok, lusa...semua akan berakhir..!